Menjadi Guru, Motivasi Finansial atau Pengabdian?

Dalam sebuah proses pendidikan tentu tidak terlepas dari peran sentral guru di dalamnya. Guru memiliki peran dan tanggung jawab yang luar biasa besar dalam menentukan keberhasilan siswa- siswanya. Dengan jasa guru yang demikian hebat itulah guru dipandang sebagai profesi yang mulia dalam masyarakat. Selain itu menjadi guru masih memiliki nilai prestise yang tinggi. Banyaknya mahasiswa yang kuliah di jurusan pendidikan juga menunjukkan tingginya minat masyarakat yang ingin menjalani profesi yang mulia tersebut. 
Namun melihat berita akhir- akhir ini baik melalui media cetak maupun elektronik, banyaknya lulusan guru membuat jumlah  guru menjadi tidak seimbang (overload) dari jumlah yang dibutuhkan khususnya di pulau Jawa.
 Dalam sebuah proses pendidikan tentu tidak terlepas dari peran sentral guru di dalamnya Menjadi Guru, Motivasi Finansial atau Pengabdian?
Ilustrasi Bimtek Guru
Pemerataan jumlah guru memang masih menjadi masalah karena tidak semua guru khususnya yang berstatus wiyata mau ditempatkan di luar Jawa. Pertumbuhan jumlah guru yang relatif pesat tersebut mungkin saja disebabkan karena harapan bagi guru- guru yang wiyata diangkat menjadi guru dengan status pegawai negeri sipil (PNS). Oleh karena itu, berbondong- bondonglah lulusan sekolah pendidikan guru mencari sekolah- sekolah negeri untuk dijadikan tempat wiyata.
Ada sebuah contoh situasi yang menarik, seorang mahasiswa lulusan S1 kependidikan jurusan Bahasa Indonesia mengabdi menjadi guru kelas di sekolah dasar negeri, dan meskipun sudah mengantongi ijazah S1, namun kemudian rela kuliah kembali dengan jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dengan harapan suatu saat bisa tercantum datanya dan suatu saat pula bisa tersaring menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Dalam hal ini perlu dipertanyakan tentang motivasi awal menjadi guru, apakah hanya mengejar finansial atau melakoni sebuah profesi yang terhormat yaitu terlibat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa menjadikan finansial sebagai faktor utama. 
Bila memandang dari faktor finansial , menjadi guru adalah profesi yang menjanjikan, tapi dengan catatan harus sudah diangkat menjadi PNS. Seperti kita ketahui bahwa  guru yang sudah diangkat PNS, bisa mendapatkan pendapatan yang lebih dari cukup ditambah lagi mendapatkan tunjangan sertifikasi atau bonus  mendapatkan gaji ke-13 atau ke-14, terlihat sangatlah menarik bukan? Dan siapa yang tidak ingin menjadi seorang guru PNS pada masa sekarang ini. 
Faktanya sekarang adalah menjadi seorang guru PNS  bukanlah persoalan yang mudah. Pengabdian yang cukup panjang sebagai guru wiyata pun tidak menjamin langsung diangkat sebagai guru PNS. Namun, meskipun dengan keadaan yang seperti itu, masih masih banyak guru- guru yang rela mengabdi khususnya di sekolah negeri menjadi guru wiyata atau honorer.
Nah, bagaimana dengan guru honorer, guru wiyata, guru swasta? Bagaimanakah nasib dan kesejahteraannya?
Sebuah riset yang menyatakan bahwa sektor pendidikan mempunyai pendapatan yang paling rendah dibandingkan sektor yang lain. Melihat dari fakta yang ada sekarang ini, masih banyak guru honorer, guru swasta, dan guru wiyata yang  hidup di jauh dari layak.  Dan sudah menjadi rahasia umum juga bahwa guru- guru tersebut hanya memperoleh gaji atau tunjangan yang sama sekali dibawah dari gaji yang standar untuk hidup. Sebagai contoh seorang guru swasta yang belum bersertifikasi mengajar di sekolah swasta dengan kondisi yayasan yang pas-pasan sebenarnya hanya mendapatkan gaji dengan perhitungan mengajar selama satu minggu saja. Misalnya per jam nya hanya Rp. 20.000, maka ketika dia mengajar per minggunya 12 jam, dalam satu bulan dia hanya digaji sebesar Rp. 240.000,-. Maka hidup dengan gaji sebesar itu untuk berbagai kebutuhan hidup sekarang ini, tentu saja masih jauh dari layak.
Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya dulu  pernah mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR), mungkin saja salah satu pertimbangan yang membuat saya tidak "diapprove" adalah karena pekerjaan saya yang hanya menjadi seorang guru swasta dengan gaji honor per jam mengajar. Mungkin saja dari pihak pengembang atau bank saat itu, kurang begitu yakin bahwa guru swasta bisa mengangsur atau melunasi seluruh biaya kredit sampai dengan batas waktu yang disepakati. Situasi tersebut mungkin saja terjadi pada kehidupan rekan- rekan guru yang lain dan itu hanyalah potret dalam kehidupan seorang guru swasta yang menginginkan sebuah kehidupan yang layak untuk mempunyai rumah bagi keluarganya.
Sangat memprihatinkan memang bila memperhatikan situasi, kondisi, dan keadaan rekan- rekan guru yang masih belum berkesempatan dijamin kehidupannya oleh pemerintah. Namun, dalam hal ini yang perlu digarisbawahi adalah sebenarnya motivasi awal kita menjadi guru adalah sebuah pengabdian. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, sebuah pengabdian yang tulus yang akan membuat dan membawa hidup menjadi berkah. Banyak rekan- rekan guru yang sukses meskipun masih berstatus swasta atau honorer, semua tergantung bagaimana kita memanfaatkan peluang, kemampuan dan keahlian kita.
Harapannya kualitas hidup bagi para guru dan tenaga pendidik di Indonesia, terutama mereka yang berada di daerah dan masih mendapatkan penghasilan rendah di bawah rata-rata bisa meningkat. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat, mohon maaf bila ada kekurangan dan salah kata.
Salam. Hidup Guru.

0 Response to "Menjadi Guru, Motivasi Finansial atau Pengabdian?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel